Monday, February 29, 2016

SALAH !!! Bila MAu MENIKAH NUNGGU MAPAN

 Anda mesti mapan dahulu, baru menikah, agar tidak dilihat mata sebelah sama suami anda, ”

atau..

“Cari calon suami yang mapan, agar hidup anda terjamin serta bahagia, ”

Mungkin saja beberapa besar Teman dekat tentu telah kerap dengarkan saran di atas dari beberapa orangtua. Lepas dari persepsi tidak sama mengenai kemapanan, benarkah bila menginginkan menikah mesti mapan dahulu atau memperoleh calon suami mapan?

Pagi ini Admin pernah membaca satu tulisan menarik dari Fahd Pahdepie, penulis buku Tempat tinggal Tangga. Tulisan dengan judul Menikahlah Sebelumnya Mapan! begitu layak untuk jadi bacaan wanita Indonesia, terlebih Anda yang tengah menyiapkan pernikahan atau yang masihlah sangsi menikah lantaran belum mapan.


Beruntunglah mereka yang menikah sebelumnya mapan. Berbahagialah mereka yang memperoleh pasangan yang belum mapan.

Banyak lelaki yang tunda menikah dengan argumen ‘belum mapan’. Saya tidak menginginkan memperdebatkan apa pengertian ‘mapan’ disini, lantaran mapan untuk tiap-tiap orang miliki ukuran yang tidak sama. Namun, untuk mereka yang masihlah sangsi untuk menikah lantaran menanti mapan, izinkanlah saya berikan nasehat yang baru : Menikahlah sebelumnya mapan!

Saya senantiasa sukai kalimat John Donne yang juga pernah dipelesetkan Abraham Heschel, tuturnya : ‘No man is an island’, tidak ada lelaki sebagai pulau untuk dianya. Berarti, tidak ada seseorangpun yang dapat hidup sendirian—seperti satu pulau yang tidak memerlukan orang lain. Tiap-tiap orang senantiasa memerlukan orang lain untuk sharing serta isi suatu hal yang ‘kosong’ dalam kehidupannya. Dalam rencana ini, menurut Donne, tidak ada seseorang juga didunia ini yang ‘mapan’.

Bila seseorang yang akan menikah mempunyai langkah memikirkan sekian, jadi pernikahan dapat didekati lewat cara yang lebih rendah hati. Bila seseorang lelaki dapat memikirkan ‘saya belum mapan’, umpamanya, jadi ia bakal mendekati istrinya sebagai seorang yang bakal menyempurnakan beberapa hal yang belum mapan dalam dianya.

1. Mapan tidak cuma uang

Untuk saya, mapan sudah pasti bukanlah masalah kekayaan atau kepemilikan saja, mapan yaitu masalah kesanggupan individu dalam hadapi beragam tantangan dalam kehidupannya. Bila mapan cuma masalah duit atau karier, tidakkah banyak yang berlebihan dengan cara materi serta gemilang ditempat kerja namun tidak mampu hadapi ego serta amarahnya sendiri? Nah!

Dengan pemahaman baru ‘menikah sebelumnya mapan’, seorang bakal hadapi pasangannya dengan penuh penghargaan. Lantaran ia sadar kalau dalam diri pasangan itu ada beberapa segi yang bakal menyempurnakan dianya. Pikirkan bila langkah memikirkan seperti ini tak ada dalam satu pernikahan, jalinan suami-istri bakal terus-terusan atas-bawah, subordinatif, serta condong tak adil.

Banyak suami yang lantaran terasa kalau dialah yang mempunyai ‘penghasilan’, dialah yang miliki duit, dialah yang hidupnya ‘mapan’, dialah yang bercahaya didunia luar, jadi merendahkan serta tak menghormati istrinya.

Bila nekat menikah sebelumnya mapan, lalu istri serta anak ingin diberi makan apa—dikasih makan cinta? Mungkin pertanyaan itu betul-betul merasa mengganggu. Namun beberapa orang lupa kalau mapan tidak sama serta sebangun dengan rasa tanggung jawab. Yang diperlukan dalam pernikahan tidaklah harta yang berlimpah, namun rasa tanggung jawab yang cukup.

Sia-sia saja miliki kekayaan banyak namun tidak bertanggungjawab, kan? Banyak kok suami yang ikhlas bikin istri serta anak-anaknya ‘susah’ namun memanjakan dianya sendiri—malah memanjakan selingkuhannya. Berarti, harta yang banyak tidak bakal bermakna apa-apa dalam pernikahan bila kita tidak miliki banyak cinta untuk menjalaninya.

2. Mencapai yang diimpikan berbarengan dalam tempat tinggal tangga

Satu hari saya di tanya masalah wujudkan yang diimpikan berbarengan dalam rumah tangga, “Bagaimana memberikan keyakinan istri atau suami supaya ingin berbarengan wujudkan yang diimpikan besar yang kita punyai? ” Jawabannya sudah pasti simpel. Pertama-tama, berpikirlah kalau kita yaitu individu yg tidak prima, kalau kita senantiasa memerlukan pertolongan orang lain, kalau kita memerlukan partner untuk wujudkan beberapa yang diimpikan kita.

Dengan terasa kalau kita ‘tidak sempurna’, jadi kita selalu jadi ‘pribadi yang membelum’, pribadi yang senantiasa dalam proses… Disanalah bakal terwujud kesalingpahaman pada suami serta istri. Setelah itu, keduanya bakal keduanya sama merajut prinsip untuk berbarengan wujudkan beberapa yang diimpikan besar yang mereka punyai.

Namun, janganlah cuma sama-sama tahu untuk wujudkan beberapa yang diimpikan besar saja! Pernikahan tidak cuma mengenai wujudkan beberapa yang diimpikan besar, namun juga melakukan beberapa hal kecil di sehari-harinya. Bila yang ada pada fikiran Anda cuma menginginkan wujudkan beberapa yang diimpikan besar, baiknya janganlah menikah, namun ikutlah organisasi atau partai politik!

Lalu apakah dengan menikah seorang yang ‘belum mapan’ bakal jadi mapan? Belum pasti. Bergantung kwalitas pernikahan tersebut. Serta kwalitas pernikahan ditetapkan oleh pola jalinan pada suami serta istri. Banyak suami atau istri yang memperlakukan pasangannya dengan prinsip rekanan ‘aku-kamu’, dengan berasumsi pihak ‘kamu’ cuma untuk objek atau benda yang tidak mempunyai kehendak atau pilihan-pilihan.

Sudah pasti rekanan sejenis ini miskin empati. Dalam rekanan ‘aku-kamu’ sejenis ini, pusat kebutuhan ada di ‘aku’ serta ‘kamu’ yaitu pihak luar, anda yaitu yang perlu memperhatikan saya, anda yaitu yang perlu nurut, anda yaitu objek yg tidak merdeka.

3. Masihlah ingin menanti mapan untuk menikah?

Martin Buber, filsuf asal Austria, tawarkan pola jalinan lain yang tambah baik. Ia menyebutnya ‘aku serta engkau’ (I and Thou atau Ich und Du). Dalam rekanan aku-engkau, kata Buber, ‘engkau’ lebih dihargai sebagai subyek yang setara. Lantaran dalam diri ‘engkau’ ada sisi dari ‘aku’. Pemisah pada saya serta engkau bukanlah sebatas hak serta keharusan, namun ikatan yang sama-sama memperkuat.

Bila kita memandangnya dalam konteks pernikahan, dalam jalinan ‘aku-engkau’ langkah pandangnya bukanlah hanya mengenai apa keharusan dan hak-hak suami pada istrinya, atau demikian sebaliknya, namun lebih pada jalinan kasih-sayang—juga rasa cinta. Bila jalinan rumah tangga dibangun diatas prinsip ini, tidak ada lagi masalah ‘siapa mesti menghormati siapa’ atau ‘siapa mesti menurut pada siapa’ sebab semuanya berdasarkan pada ‘aku lakukan ini serta tak lakukan itu lantaran saya menyayangimu’.

Kembali ke diskusi kita masalah kemapanan, individu yang lebih menghormati individu yang lain, suami yang lebih berempati pada istrinya, mempunyai kesempatan semakin besar untuk mapan dalam pernikahannya. Sekali lagi, mapan tidak cuma masalah kepemilikan kapital serta kecukupan finansial, namun ‘mapan’ dalam artian yang lebih luas : Jadi pribadi dewasa yang mampu hadapi bermacam tantangan dalam kehidupannya. Dengan modal kemapanan sejenis ini, pernikahan yang bahagia pasti adalah suatu hal yang pasti.

Pada akhirnya, untuk saya, prinsip ‘menikah sebelumnya mapan’ yaitu pilihan beberapa orang cerdas yang penuh optimisme sekalian empati. Untuk yang tengah mencari pasangan, cari orang yang seperti ini. Cari orang yang bakal mengajak Anda berhasil serta bahagia berbarengan, bukanlah orang yang terasa telah berhasil lantas cuma bakal jadikan Anda ‘pelengkap’ saja.

Jadi benarlah firman Allah dalam Al-Quran, istrimu yaitu baju bagimu serta anda yaitu baju baginya (Al-Baqarah 187). Suami yaitu individu yang belum mapan tanpa ada istrinya, serta istri yaitu pribadi yang belum prima tanpa ada suaminya.







No comments:

Post a Comment